Asal Tarian Sufi
1. Kota Turki
Turki atau Konya adalah kota dimana Mawlana Jalaludin Rumi
memulai ajaran ajarannya. Dan disinilah Thariqat Mawlaw iyah
berkembang. Jalaludin Rumi mendapatkan nama “Rumi” dari kota ini, yang
dulunya bernama “Rum” atau “ Rome ”.
Sampai saat ini pun, tarian whirling
masih sangat berkembang di Turki. Dan menjadi salah satu nilai sejarah
budaya bangsa mereka.
2. Mawlana Jalaludin Rumi
Samâ',
tarian sakral yang pertama kali diajarkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi
(1207-1273), sang penyair-sufi agung asal Persia. Samâ’ adalah upacara
atau ritual yang diadakan sebagai pengantar para penari kepada sublimasi
antara makhluk dengan Penciptanya. Upacara ini berisi adab-adab yang
masing-masing mengandung makna.
Tarian mistis yang penuh simbolisme
ini pertama kali menginspirasi Rumi setelah kehilangan guru spiritual
yang sangat dicintainya, Syamsuddin Tabrizi. Ia adalah seorang darwis
misterius yang bagaikan magnet mampu menyedot seluruh perhatian Rumi,
hingga orientasi spiritual Rumi berubah secara dramatis, dari seorang
teolog dialektis menjadi seorang penyair-sufi. Kemisteriusan Syams
membuat putera Rumi menyepadankannya dengan Khidr(6).
Lukisan Rumi & Shalahuddin Faridun Zarkub oleh Omar Faruk Atabek |
Dikisahkan
di suatu pagi, seorang pandai besi yang juga darwis bernama Shalahuddin
Faridun Zarkub menempa besinya. Pukulan itu kontan membuat Rumi menari
hingga mencapai keadaan ekstase. Lalu secara spontan dari mulut Rumi mengalir ujaran-ujaran mistis dalam bentuk puisi.
Selanjutnya, Shalahuddin dijadikan Rumi
sebagai khalifah (wakil) untuk menggantikan posisi Syams, tempat ia
mencurahkan gagasan dan perasaannya. Setelah melembaga, tarian ini
sering dilakukan Rumi selepas shalat Isya di jalanan kota Konya,
diikuti para darwis lainnya. Acara terakhir biasanya ditutup dengan
pembacaan ayat suci Al-Quran.
Bagi Rumi menari adalah Cinta.
Dan Rumi tak berhenti menari karena ia tak pernah berhenti mencintai
Tuhan. Hingga tiba saatnya di suatu senja 17 Desember 1273, ia dipanggil
Sang Maha Kuasa dalam keadaan diliputi Cinta Ilahi.
Setelah wafatnya Rumi, tarekat
Maulawiyah (beserta ritual samâ'-nya) berlanjut terus di bawah pimpinan
Syaikh Husamuddin Hasan bin Muhammad, salah seorang sahabat karibnya,
yang juga dijadikan Rumi sebagai khalifah setelah kepergian
Shalahuddin. Husamuddin adalah orang yang memberinya dorongan dan
inspirasi sehingga lahirlah sebuah karya yang menjadi magnum opus Rumi, yakni Matsnâwî. Kitab ini terdiri dari enam jilid dan berisi 25.000 untaian bait bersajak.
“Jika kau menulis sebuah buku seperti Ilahiname milik Sana'i atau Mantiq at-Thayr milik Fariduddin Attar, niscaya akan menarik minat sekumpulan penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan apa yang kau tulis dan musik akan digubah untuk mengiringinya”, demikian saran Husamuddin kepada Rumi di sebuah kebun anggur Meram di luar Konya. Bersama Husamuddin lah Matsnâwî tercipta. Sehingga karya monumental ini dikenal pula dengan sebutan Kitab-i Husam (Bukunya Husam).
Terpesona dengan kandungan dari karya
tersebut, seorang orientalis Inggris bernama R.A Nicholson –yang
menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengkaji karya Rumi–
mengatakan, Matsnâwî adalah sungai besar yang tenang dan dalam, mengalir
melalui banyak dataran yang kaya dan beragam menuju samudera tak
bertepi. Matsnâwî di mata para pengikut Rumi dianggap sebagai
uraian makna batin Al-Quran. Sementara Abdurahman Jami –penyair asal
Persia– menyebutnya “Al-Quran dalam bahasa Persia.”
Dan bab ke tiga Matsnâwî berisi tentang kefanaan dalam samâ'. “Tatkala gendang ditabuh, serta merta sebuah rasa ekstase merasuk laksana buih yang meleleh dari debur sang ombak.”, begitu senandung Rumi.
Setelah Husamuddin wafat, tarekat Maulawiyah berlanjut di bawah kepemimpinan putera tertua Rumi,
Sultan Walad. Di tangan puteranyalah tarekat ini terorganisir dengan
baik, hingga ajaran ayahnya tersebut menyebar ke seluruh penjuru negeri.
Tarekat Maulawiyah di Barat
lebih dikenal dengan sebutan ‘The Whirling Dervishes' (darwis-darwis
yang berputar), mengambil nama dari ciri utama tarekat ini. Selain di
Eropa, kini tarekat Maulawiyah sudah merambat ke dataran Amerika hingga
ke benua Asia.
Sekian abad lamanya pertunjukan
samâ' menarik perhatian para pengembara spiritual, hingga lahir
catatan-catatan penting tentangnya. Dalam bukunya yang berjudul Islamic
Art and Spirituality, Seyyed Hossein Nasr mengatakan bahwa samâ' diawali
dengan nostalgia tentang Tuhan, berlanjut dengan keterbukaan sedikit
demi sedikit terhadap limpahan karunia dari surga, setelah itu mengalami
keadaan ekstase (fana'), lebur bersama Al-Haqq(7).
Rumi menyebut samâ' sebagai
simbolisme kosmos, sebuah misteri yang sedang menari. Putaran tubuh
adalah tiruan alam raya, seperti planet-planet yang berputar. Posisi
tangan yang membentang secara simbolik menunjukkan bahwa hidayah Allah
diterima oleh telapak tangan kanan yang terbuka ke atas, lalu disebarkan
ke seluruh makhluk oleh tangan kiri. Ini merepresentasikan sebuah
penyerahan dan penyatuan dengan Tuhan.
Komentar
Posting Komentar